Friday, May 22, 2009

Unexpected Email

Just know my dad sent me this email..

‘Fenomena Facebook’ dan

Isu Pengembangan Diri

"Waspadailah perilaku Facebook Anda! Teknologi untuk manusia bukan manusia untuk teknologi."

Facebook memang fenomenal. Facebook awalnya hanya sebuah situs jejaring sosial terbatas yang diluncurkan untuk siswa dari Harvard College saja. Dimulai pada tanggal 4 Februari 2004 oleh seorang bernama Mark Zuckerberg, mantas lulusan Harvard dan Ardsley High School. Namun, hanya dalam kurun waktu 3 tahun saja, facebook berkembang menjadi situs yang amat populer. Berita di New York Times bahkan mengatakan ada sekitar 175 juta pengguna aktif di situs popler ini, saat ini. Wow! Begitu populernya facebook, bahkan ia dikaitkan dengan kesuksesan personal branding beberapa orang terkemuka, melonjaknya sales beberapa program supermarket seperti Wal-Mart, hingga kesuksesan President Barrack Obama menggalang suara maupun dana, banyak dikaitkan dengan facebook ini.

Di Indonesia, facebook inipun belakangan menjadi amat populer. Mulai dari para pebisnis, ibu rumah tangga, hingga kalangan remaja, facebook seperti sebuah gaya hidup. Bahkan, beberapa rekan saya membeli Blackberry dan IPhone-nya hanya dengan alasan sederhana, bisa mengupdate facebook mereka terus-menerus.

Bahkan, terkait dengan fenomena facebook inipun, saya pun terkadang bingung dengan beberapa teman saya, yang dalam keseharian tergolong orang yang agak anti sosial serta sulit berinteraksi dengan orang lain. Banyak diantaranya, dianggap introvert dan dingin, kalau ketemu orang. Tapi, jangan heran. Bagaimana account facebooknya? Saya pun dibuat kaget olehnya. Di dalam facebooknya, mereka yang tergolong cuek bahkan kurang ekspresif ini dengan begitu mudahnya mengekspresikan diri mereka dalam “wall” maupun “wall-to-wall” dalam facebooknya (ini istilah soal ‘dinding’ dalam facebook dimana kita bisa mengungkapkan apapun yang kita pikirkan). Malahan, jumlah ‘teman’ maya mereka pun tergolong sangat banyak.

Tulisan ini, mencoba mengungkap sisi lain di balik perkembangan facebook dan perkembangan jejaring sosial lainnya, dikaitkan dengan berbagai isu yang perlu dicermati dalam kaitannya dengan pengembangan diri (personal development) . Dari fenomena ini, ada beberapa hal yang menjadi catatan saya.

3 Isu Penting

Pertama, risiko mengekspresikan diri. Dalam training Kecerdasan Emosional baru-baru ini, saya berkisah soal rekan saya dahulu di perusahaan pertama saya yang menggunakan nama samaran, Mr.Nice Guy, dalam setiap kali chatting. Di internet, dia bisa tampak sangat fleksibel, sangat komunikatif dan memberi banyak nasihat. Teman virtual-nya banyak. Tapi, dalam kondisi kerja, orangnya pendiam, tertutup bahkan cenderung sulit berkomunikasi. Akhirnya, si Mr.Nice Guy ini sendiri sempat pernah berkisah bahwa, dirinya lebih suka berhubungan via internet karena risiko interaksinya lebih sedikit. Kalau tidak suka, bisa diblokir kapan saja dan distop interaksinya, dan persoalanpun selesai. Sementara, kalau berhubungan langsung, orang bisa langsung tersinggung bahkan cenderung lebih sulit diprediksi reaksinya, menurutnya. Baginya, kontak interpersonal langsung harus banyak mempertimbangkan persepsi orang. Intinya, interaksi interpersonal secara langsung, mempunyai risiko lebih sulit. Orang lebih sulit diprediksi, lebih sulit diantisipasi rekasinya dan tidak dalam kontrolnya. Itulah komentarnya soal beda interaksi virtual dengan interaksi langsung.

Akhirnya, dalam konseling saya dengannya, tetap saya tekankan bahwa chatting maupun facebook, tetap saja tidak menggantikan interaksi manusia yang sesungguhnya. Walaupun, facebook serta berbagai aplikasi jejaring sosial lainnya memang sangat membantu suatu proses interaksi dan memperluas networking sosial. Namun, latihan dan pendewasaan yang sesungguhnya tidak dapat tergantikan melalui interaksi virtual. Dalam interaksi langsunglah, kadang kita harus belajar bersabar, belajar membaca keadaan orang, menyesuaikan dengan kondisi orang, bahkan kadang harus mengalami ‘pergesekan’ dengan orang. Namun, semuanya amat mendewasakan kita dalam melatih interpersonal maupun kemampuan komunikasi kita.

Kedua, facebook atau berbagai situs jejaring sosial harus dipergunakan secara cerdas untuk membangun self image kita maupun interaksi yang sehat. Celakanya, tatkala content-nya tidak terkendali, justru bisa menyebabkan orang kehilangan muka, kehilangan respek, jadi mengumbar segala sisi gelap bahkan kehilangan ruang privasinya. Di satu sisi, facebook memang menjadi ajang untuk belajar mengekspresikan diri, namun di sisi lain, ekspresi ini bisa menjadi bumerang karena siapapun bisa menuliskan pesan, termasuk orang-orang yang pernah dikenal secara pribadi namun pernah bermasalah. Sebagai contoh, seorang rekan saya yang menjelang kehancuran pernikahannya, justru saling membalas kalimat-kalimat tidak sopan, melalui facebook mereka yang akhirnya terbaca oleh begitu banyak rekan-rekan mereka. Akibatnya, berbagai persepsi yang negatif-pun bermunculan terhadap keduanya.

Mengomentari situasi semacam ini, saya tetap mengingatkan beberapa rekan saya agar mempunyai tujuan yang jelas dengan facebook maupun jejaring sosial yang mereka lakukan. Waktu menulis, harusnya juga dipertimbangkan secara matang, apa yang hendak dikomunikasikan. Sebab sekali sudah ditulis dan terkirim, apapun yang kita pikirkan akan terbaca oleh jutaan orang yang bisa akses ke halaman web kita. Kita pun, harus mewaspadai pula apa yang kita posting-kan serta mengantisipasi risiko dari orang-orang, baik dari yang niatnya paling tulus hingga ke yang ‘iseng’ untuk menanggapinya. Jangan sampai teknologi ini justru menjadi alat yang merusak citra diri. Kitalah yang harus menggunakannya dengan bijak.

Ketiga, dari sisi manajemen energi dan waktu, facebook maupun jejaring sosial semacam ini bisa menjadi pencuri yang perlu diwaspadai. Di satu sisi, produktivitas kerja bisa terganggu akibat banyaknya yang addicted untuk melihat ataupun penasaran soal komentar orang terhadap apa yang dipostingkan di situs pribadinya. Kitapun menjadi penasaran, terus-menerus membaca informasi dari orang lain yang terus menerus di-update. Selain energi pikiran jadi lebih terkonsentrasi ke facebook, banyak waktu dan energi yang produktif pun jadi tersita. Makanya, kewaspadaan tetap perlu menjadi senjata bagi kita. Saya mengenal beberapa klien saya yang ketagihan dengan mengisi dan update facebook. Nyaris setiap jam, mereka harus mengecek facebooknya. Dan bisa diperkirakan, karir mereka pun bukanlah yang tergolong luar biasa.

Tak Perlu Antipati

Tulisan ini tidak mengajak kita untuk antipati dengan facebook atau jejaring sosial lainnya. Justru, yang penting adalah bagaimana kita ‘outsmart’ (lebih cerdas) dari teknologi dan memanfaatkan sebesar-besarnya bagi keuntungan kita. Berbagai perusahaan, dapat mendayagunakan facebook untuk memperluas jaringan salesnya. Cukup banyak artis dan penulis yang mempertahankan fans-nya dengan facebooknya. Mereka yang cerdas, dapat menggunakan teknologi sosial seperti facebook demi kepentingan yang berharga bagi sukses mereka, khususnya dalam hal networking. Nah, bagaimana dengan Anda?

Anthony Dio Martin


What do you think?

1 comment:

ChikitaRosemarie said...

terkadang hal" seperti fb memang bs jd sangat kontekstual tergantung dr pemaknaan masing-masing penggunanya..

bagaimanapun jg, fb kan merupakan slh satu bentuk dan hasil dr globalisasi, di mana terbukanya akses komunikasi, yg dlm hal ini via dunia maya..

memang dlm hal ini kitalah yg hrs bijaksana dlm memaknai fb itu sendiri.. dan bijaksana dalam memanfaatkan sarana komunikasi tsb..

ga hanya fb,, tp hal" lain jg.. (blog misalnya.. hehehe)